DENPASAR, POS BALI - Pemanfaatan ruang darat dan laut di kawasan Desa Adat Serangan menimbulkan “gesekan” antara perwakilan warga Desa Adat Serangan dan PT Bali Turtle Island Development (BTID) menjadi tidak harmoni.
Jro Bendesa Desa Adat Serangan, I Made Sedana langsung protes menanggapi kawasan eksklusif setelah keberadaan PT BTID di wilayah Desa Serangan.
Ia mengatakan Desa Adat Serangan sudah gerah atas kawasan eksklusif di Pantai Kura-Kura Bali, karena membatasi aktivitas masyarakat setempat karena kawasan eksklusif yang dibuat BTID.
Baca Juga: Warga Keluhkan Bau Sampah di TPST Kertalangu, Disinyalir Penutupan TPA Suwung “ Pesanan BTID”
"Bagaimana masyarakat Desa Adat Serangan tidak dilibatkan (rapat) ini, kenapa dan ada apa? Mestinya rapat ini diadakan di Serangan, sehingga banyak masyarakat yang bisa hadir dan mendengarkan. Yang tadi datang ada dari warga nelayan kelompok rumput laut dan terumbu karang, bukan semua warga Desa Adat Serangan," kata Jro Bendesa Made Sedana, Selasa (12/9).
Melalui rapat pertemuan yang dimediasi Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Bali, hanya dihadiri beberapa perwakilan warga dan tokoh dari Desa Serangan yang hadir.
Jro Made Sedana mengatakan warganya hanya beberapa yang diberikan akses mencari nafkah ke pesisir, sehingga adanya pembatasan oleh PT BTID selama ini harus dipikirkan jalan keluarnya dan segera dituntaskan.
Baca Juga: DKLH Bali Sebut Pengerukan BTID yang Baru Belum Ajukan Izin
Selain itu, petugas keamanan dari PT BTID beberapa di antaranya ada dari warga Desa Adat Serangan, mestinya untuk masuk ke pantai tidak perlu menyetor KTP, mereka pun sudah tahu masa orang lokal dan luar Desa Adat Serangan.
"Benar sekali (soal eksklusivitas-red), itu yang dirasakan masyarakat sampai hari ini. Kami pun masuk ke sana (perairan Serangan) terbatas. Bahkan, setiap panen (rumput laut dan terumbu karang) pun ada yang memakai perahu dengan berkeliling, kalau tangkapan panen yang kecil-kecil warga pakai motor. Harmonisasi ini harus diupayakan bersama," tegasnya.
Ia mengatakan, warganya dihadang memakai portal sehingga tidak bisa menuju ke pantai, apalagi pantai diketahui bersama merupakan milik negara. "Bahkan, masyarakat kami ingin mandi saja sampai ke luar daerah, seperti ke Sanur hingga Kuta. Masyarakat atau nelayan yang mau masuk itu harus dicatat dahulu,” ujarnya supaya memperhatikan rakyat dan jangan memperhatikan PT saja," sambungnya.
Baca Juga: Selamat! Desa Wisata Serangan Raih Juara 3 Nasional ADWI 2023
Sedangkan, mengenai PT BTID yang memohon Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (KKPRL) untuk pemeliharaan dan pengamanan pantai, sehingga dapat memadukan darat dan laut menjadi satu kesatuan yang kompak untuk kegiatan usaha pariwisata. Hal tersebut disoroti Jro Sedana, yang justru khawatir masyarakatnya dapat diusir bila izin KPPRL diterbitkan.
"Terhadap stakeholder swasta dan pemerintah, harus mensosialisasikan aturan dan Undang-undang, mana yang boleh dan tidak boleh oleh nelayan kami. Sehingga apa yang diinginkan bersama dapat terakomodir. Apalagi ini menyangkut orang banyak mengenai pengelolaan di pinggir pantai.," katanya.
Artikel Terkait
Ingin Saksikan Gili Festival 2023 di Lombok Utara, Berikut Rangkaian Acaranya
Gili Festival 2023 Digelar, Ini Harapan Wakil Bupati Lombok Utara
Kenakan Kebaya Merah, Ida Setiawati Promosikan Kerajinan Khas Bali di JCC